|
Ilustrasi reaksi alergi dengan bersin (Foto Dok. Shutterstock) |
DUNIA BERITA - Seorang pengidap alergi mempunyai risiko empat kali lebih besar mengembangkan depresi berat, menurut hasil penelitian terbaru. Tidak hanya hidung berair dan mata gatal. Menurut para peneliti, peradangan pada pembuluh darah dan jaringan di tubuh, dipicu oleh reaksi alergi terhadap serbuk sari, mempunyai dampak jangka panjang yang berbahaya bagi otak.
Seperti dikutip dari kantor berita CNN Indonesia, respons inflamasi, reaksi dari gejala khas alergi, semisal bersin, merupakan cara tubuh yang berusaha menyingkirkan penyebab alergi, diantaranya serbuk sari. Tetapi, berdasarkan sejumlah fakta, paparan terus-menerus peradangan tingkat rendah selama beberapa bulan, umpamanya di musim alergi, mempunyai dampak kejiwaan serius kelak di kemudian hari.
Di negara Inggris, sekitar sepuluh juta orang per tahun menderita selama alergi musim semi, yang puncaknya terjadi selama akhir musim semi dan musim panas. Di negara yang mengalami empat musim, kedatangan musim semi sangat ditungu-tunggu, setelah cuaca yang tidak bersahabat selama musim dingin.
Tetapi, untuk sebagian orang, musim semi dapat mengakibatkan alergi musim semi. Alergi ini kerap disebut hay fever. Alergi ini merupakan gangguan sistem kekebalan tubuh yang diindikasi dengan respons alergi terhadap serbuk bunga atau lainnya. Dikenal juga sebagai rinitis alergi.
Para peneliti memelajari apakah peradangan akibat hay fever dapat menyebabkan depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Dalam penelitian terbaru, para ilmuwan dari National Yang-Ming University of Taiwan mengamati 10 ribu remaja yang menderita hay fever dan 30 ribu lainnya yang tidak.
Mereka memonitor kedua kelompok tersebut selama hampir satu dekade, dan mencatat berapa banyak yang dinyatakan gangguan bipolar, fase dimana orang seseorang terlihat sangat bersemangat, tidak bisa berkonsentrasi dan tidur, yang diiringi depresi berat.
Alhasil, dalam Journal Psychosomatic Research dipublikasikan, remaja yang terserang hay fever, memiliki risiko empat kali lebih mungkin terdiagnosis mengalami bipolar ketika dewasa.
Penelitian sebelumnya di Denmark, menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita alergi seperti hay fever mempunyai risiko bunuh diri sebesar 30 persen lebih tinggi daripada mereka yang tidak mengalami alergi.
Ilmuwan dari Aarhus University mendapati jawaban tersebut setelah membandingkan tingkat alergi diantara korban yang melakukan upaya bunuh diri dengan kelompok orang yang sehat. Tetapi, bagaimana kondisi seperti pilek dapat memicu penyakit mental?
Kendati tidak sepenuhnya yakin, diketahui saat reaksi alergi, otak melepaskan zat yang disebut dengan sitokin pro-imflammatory cytokines. Zat ini merupakan protein yang menyebabkan peradangan dan pelepasan bahan kimia di darah yang mengeluarkan benda asing seperti serbuk sari.
Peradangan timbul untuk memperingatkan sistem kekebalan bahwa tubuh tengah diserang. Umumnya setelah ancaman hilang, jaringan yang meradang akan berangsur sembuh. Tetapi, masalah muncul tatkala peradangan tidak teredam.
Studi terbaru di Australia menyebutkan bahwa, sitokin dapat memicu berkurangnya tingkat serotonin di otak, zat yang memicu kebahagiaan. Dan rendahnya tingkat serotonin tersebut dapat berdampak depresi. Para peneliti menuturkan, ini bisa menjadi petunjuk bagaimana alergi dapat mengarah pada penyakit jiwa.